Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Definisi, Hukum dan Jenis-jenis Riba

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk menulis artikel oleh Allah Swt.
oke, pada kesempatan kali ini saya akan sedikit sharing mengenai riba, apa itu riba dan jenis-jenisnya.


Definisi Riba

Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah)[1]. Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.[2] Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya[3]. Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut syariat.[4] Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah, anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan[5].

Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan)[6].

Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa`[7]. Pengertian riba semacam ini juga disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.[8]

Hukum Riba

Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [QS Al Baqarah (2): 275].
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].
“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)

Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”[9]

Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim][10]

Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global[11].

Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer.[12] Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama[13].Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.[14]

Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global[15]. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih[16]. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah[17].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ


Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

Jenis-jenis Riba 

Ada banyak pendapat mengenai jenis-jenis riba namun, secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa riba terbagi menjadi 2, yaitu ;
  1. Riba Qardh, adalah riba yang terjadi pada transaksi simpan pinjam, riba qardh sering juga disebut riba jahilliyah.
  2. Riba Buyu', adalah riba yang terjadi pada transaksi jual beli barang ribawi, kemudian riba buyu' terbagi lagi menjadi 2 macam, yaitu ;
  1. Riba nasi'ah, adalah riba yang terjadi akibat jual beli barang ribawi yang sejenis maupun berbeda jenis secara cicilan.Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
    الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
    ” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]

    Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
    آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
    “Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
  2. Riba Fadhl, adalah riba yang terjadi akibat menukarkan 2 barang ribawi yang sejenis namun ukuran atau takarannya berbeda,
    • contoh : menukar emas 24 karat seberat 25 gram dengan emas 24 karat seberat 23 gram.
    • Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
      الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
      Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
      الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
      “Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
      عن فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
      “Dari Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan (antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)
      Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
      أن رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“
      “Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda, “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi (tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah (kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah timbangan itu”. (HR Muslim).
       


[1] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 6, hal. 7; Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz 1, hal. 320; Mohammad Ali As-Saayis, Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, juz 1, hal. 16; Subulus Salam, juz 3, 16; al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127; al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, juz 9, hal. 291; al-Jauharah al-Nayyiirah, juz 2, hal. 298; Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309; Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328; Syarh Muntahiy al-Idaraat, juz 5, hal. 10; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 2, hal. 183; Imam al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, juz 1, hal. 146; Imam al-Manawiy, al-Ta’aariif, juz 1, hal. 354; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127; al-Bahutiy, al-Raudl al-Murbi’, juz 2, hal. 106; Kasyaaf al-Qanaa’, juz 3, hal. 251; Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25; Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16; Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 5, 273;  
[2] Imam Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, juz 1, hal. 321 
[3] Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, surat al-Baqarah:275 
[4] al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Fath al-Qadiir,juz 15, hal. 289 
[5] Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, juz 2, hal. 298 
[6] Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz 11, hal. 309; lihat juga Asniy al-Mathaalib, juz 7, hal. 471. 
[7] Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328 
[8] Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309
[9] Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25
[10] Imam al-Syiraaziy, al-Muhadzdzab, juz 1, hal. 270
[11] Imam al-Shan’aaniy, Subul al-Salaam, juz 3, hal. 36
[12] Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16
[13] Imam Syarbiniy, Kitab al-Iqna’, juz 2, hal. 633.
[14] Imam Syaukaniy, Sail al-Jiraar, juz 3, hal. 74
[15] Imam Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, juz 11, hal. 9
[16] Mohammad Ali al-Saayis, Tafsiir Ayat al-Ahkaam, juz 1, hal. 162
[17] Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 4, hal. 127
[18] http://hizbut-tahrir.or.id
Jika ada yang sobat blogger ingin diskusikan silahkan komen saja di bawah, mari saling berbagi ilmu, semoga bermanfaat ^^

Daftar Nama para Khalifah dari Masa ke Masa

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Setelah wafatnya Rasulullah Shalallahu'alaihi wassalam, khalifah pertama Islam dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq R.a. yang dimana masa 4 khalifah pertama dikenal dengan Khulafaur Rasyidin kemudin disusul kekhalifahan Islam dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan Bani Ustmaniyyah. Berikut daftar nama para Khalifah Islam dari masa ke masa beserta tahun pemerintahannya :

1. Khulafa’ur Rasyidin

Khilafah Rasyidah berdiri tepat di hari wafatnya
Rasululllah SAW. Terdiri dari 4 orang atau 5 orang shahabat nabi yang menjadi khalifah secara bergantian. Mereka adalah:
1)    Abu Bakar ash-Shiddiq ra {tahun11-13 H/632-634 M}
2)    ‘Umar bin Khaththab ra {tahun13-23 H/634-644 M}
3)    ‘Utsman bin ‘Affan ra {tahun 23-35 H/644-656 M}
4)    ‘Ali bin Abi Thalib ra {tahun35-40 H/656-661 M}
5)    Al-Hasan bin ‘Ali ra {tahun 40 H/661 M}


2. Khilafah Bani Umayyah

Khilafah ini berpusat di Syiria, tepatnya di kota Damaskus. Berdiri untuk masa waktu sekitar 90 tahun atau tepatnya 89 tahun, setelah era khulafa ar-rasyidin selesai. Khalifah pertama adalah Mu’awiyyah. Sedangkan khalifah terakhir adalah Marwan bin Muhammad bin Marwan bin Hakam. Adapun masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
1)    Mu’awiyyah bin Abi Sufyan {tahun 40-64 H/661-680 M}
2)    Yazid bin Mu’awiyah {tahun 61-64 H/680-683 M}
3)    Mu’awiyah bin Yazid {tahun 64-65 H/683-684 M}
4)    Marwan bin Hakam {tahun 65-66 H/684-685 M}
5)    Abdul Malik bin Marwan {tahun 66-86 H/685-705 M}
6)    Walid bin ‘Abdul Malik {tahun 86-97 H/705-715 M}
7)    Sulaiman bin ‘Abdul Malik {tahun 97-99 H/715-717 M}
8)    ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz {tahun 99-102 H/717-720 M}
9)    Yazid bin ‘Abdul Malik {tahun 102-106 H/720-724M}
10)    Hisyam bin Abdul Malik {tahun 106-126 H/724-743 M}
11)    Walid bin Yazid {tahun 126 H/744 M}
12)    Yazid bin Walid {tahun 127 H/744 M}
13)    Ibrahim bin Walid {tahun 127 H/744 M}
14)    Marwan bin Muhammad {tahun 127-133 H/744-750 M}

Sebenarnya khilafah Bani Ummayah ini punya perpanjangan silsilah, sebab satu dari keturunan mereka ada yang menyeberang ke semenanjung Iberia dan masuk ke Spanyol. Di Spanyol mereka kemudian mendirikan khilafah tersendiri yang terlepas dari khilafah besar Bani Abbasiyah.

3. Khilafah Bani Abbasiyah

Kemudian kekhilafahan beralih ke tangan Bani ‘Abasiyah yang berpusat di Baghdad. Total masa berlaku khilafah ini sekitar 446 tahun. Khalifah pertama adalah Abu al-’Abbas al-Safaah. Sedangkan khalifah terakhirnya Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah.
Secara rinci masa kekuasaan mereka sebagai berikut:
1)    Abul ‘Abbas al-Safaah {tahun 133-137 H/750-754 M}
2)    Abu Ja’far al-Manshur {tahun 137-159 H/754-775 M}
3)    Al-Mahdi {tahun 159-169 H/775-785 M}
4)    Al-Hadi {tahun 169-170 H/785-786 M}
5)    Harun al-Rasyid {tahun 170-194H/786-809 M}
6)    Al-Amiin {tahun 194-198 H/809-813 M}
7)    Al-Ma’mun {tahun 198-217 H/813-833 M}
8)    Al-Mu’tashim Billah {tahun 618-228 H/833-842M}
9)    Al-Watsiq Billah {tahun 228-232 H/842-847 M}
10)    Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah {tahun 232-247 H/847-861 M}
11)    Al-Muntashir Billah {tahun 247-248 H/861-862 M}
12)    Al-Musta’in Billah {tahun 248-252 H/862-866 M}
13)    Al-Mu’taz Billah {tahun 252-256 H/866-869 M}
14)    Al-Muhtadi Billah {tahun 256-257 H/869-870 M}
15)    Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah {tahun 257-279 H/870-892 M}
16)    Al-Mu’tadla Billah {tahun 279-290 H/892-902 M}
17)    Al-Muktafi Billah {tahun 290-296 H/902-908 M}
18)    Al-Muqtadir Billah {tahun 296-320 H/908-932 M}
19)    Al-Qahir Billah {tahun 320-323 H/932-934 M}
20)    Al-Radli Billah {tahun 323-329 H/934-940 M}
21)    Al-Muttaqi Lillah {tahun 329-333 H/940-944 M}
22)    Al-Musaktafi al-Allah {tahun 333-335 H/944-946 M}
23)    Al-Muthi’ Lillah {tahun 335-364 H/946-974 M}
24)    Al-Tha`i’ Lillah {tahun 364-381 H/974-991 M}
25)    Al-Qadir Billah {tahun 381-423 H/991-1031 M}
26)    Al-Qa`im Bi Amrillah {tahun 423-468 H/1031-1075 M}
27)    Al-Mu’tadi Bi Amrillah {tahun 468-487 H/1075-1094 M}
28)    Al-Mustadhhir Billah {tahun 487-512 H/1094-1118 M}
29)    Al-Mustarsyid Billah {tahun 512-530 H/1118-1135 M}
30)    Al-Rasyid Billah {tahun 530-531 H/1135-1136 M}
31)    Al-Muqtafi Liamrillah {tahun 531-555 H/1136-1160 M}
32)    Al-Mustanjid Billah {tahun 555-566 H/1160-1170 M}
33)    Al-Mustadli`u iamrillah {tahun 566-576 H/1170-1180 M}
34)    Al-Naashir Lidinillah {tahun 576-622 H/1180-1225 M}
35)    Al-Dhahir Biamrillah {tahun 622-623 H/1225-1226 M}
36)    Al-Mustanshir Billah {tahun 623-640 H/1226-1242 M}
37)    Al-Musta’shim Billah {tahun 640-656 H/1242-1258 M}
38)    Al-Mustanshir Billah II {tahun 660-661 H/1261-1262 M}
39)    Al-Haakim Biamrillah I {tahun 661-701 H/1262-1302 M}
40)    Al-Mustakfi Billah I {tahun 701-732 H/1302-1334 M}
41)    Al-Watsiq Billah I {tahun 732-742 H/1334-1343 M}
42)    Al-Haakim Biamrillah II {tahun 742-753 H/1343-1354 M}
43)    Al-Mu’tadlid Billah I
44)    Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah I
45)    Al-Watsir Billah II {tahun 785-788 H/1386-1389 M}
46)    Al-Musta’shim {tahun 788-791 H/1389-1392 M}
47)    Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah II
48)    Al-Musta’in Billah {tahun 808-815 H/1409-1416 M}
49)    Al-Mu’tadlid Billah II {tahun 815-845 H/1416- 1446 M}
50)    Al-Mustakfi Billah II {tahun 845-854 H/1446-1455 M}
51)    Al-Qa`im Biamrillah {tahun 754-859 H/1455-1460 M}
52)    Al-Mustanjid Billah {tahun 859-884 H/1460-1485 M}
53)    Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah III
54)    Al-Mutamasik Billah {tahun 893-914 H/1494-1515 M}
55)    Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah IV

Khilafah Bani Abbasiyah dihancurkan oleh pasukan Tartar , sehingga umat Islam sempat hidup selama 3,5 tahun tanpa adanya khalifah. Namun kurun waktnya hanya terpaut 3 tahun setengah saja dan segera berdiri khilafah Utsmaniyah.

4. Khilafah Bani Utsmaniyyah

Khilafah Bani Utsmaniyyah tercatat memiliki 30 orang khalifah, yang berlangsung mulai dari abad 10 Hijriyah atau abad ke enam belas Masehi. Nama-nama mereka sebagai berikut:
1)    Salim I {tahun 918-926 H/1517-1520 M}
2)    Sulaiman al-Qanuni {tahun 926-974 H/1520-1566 M}
3)    Salim II {tahun 974-982 H/1566-1574 M}
4)    Murad III {tahun 982-1003 H/1574-1595 M}
5)    Muhammad III {tahun 1003-1012 H/1595-1603 M}
6)    Ahmad I {tahun 1012-1026 H/1603-1617 M}
7)    Mushthafa I {tahun 1026-1027 H/1617-1618 M}
8)    ‘Utsman II {tahun 1027-1031 H/1618-1622 M}
9)    Mushthafa I {tahun 1031-1032 H/1622-1623 M}
10)    Murad IV {tahun 1032-1049 H/1623-1640 M}
11)    Ibrahim I {tahun 1049-1058 H/1640-1648 M}
12)    Muhammad IV {tahun 1058-1099 H/1648-1687 M}
13)    Sulaiman II {tahun 1099-1102 H/1687-1691 M}
14)    Ahmad II {tahun 1102-1106 H/1691-1695 M}
15)    Mushthafa II {tahun 1106-1115 H/1695-1703 M}
16)    Ahmad III {tahun 1115-1143 H/1703-1730 M}
17)    Mahmud I {tahun 1143-1168 H/1730-1754 M}
18)    ‘Utsman III {tahun 1168-1171 H/1754-1757 M}
19)    Musthafa III {tahun 1171-1187 H/1757-1774 M}
20)    ‘Abdul Hamid I {tahun 1187-1203 H/1774-1789 M}
21)    Salim III {tahun 1203-1222 H/1789-1807 M}
22)    Musthafa IV {tahun 1222-1223 H/1807-1808 M}
23)    Mahmud II {tahun 1223-1255 H/1808-1839 M}
24)    ‘Abdul Majid I {tahun 1255 H-1277 H/1839-1861 M}
25)    ‘Abdul ‘Aziz I {tahun 1277-1293 H/1861-1876 M}
26)    Murad V {tahun 1293-1293 H/1876-1876 M}
27)    ‘Abdul Hamid II {tahun 1293-1328 H/1876-1909 M}
28)    Muhammad Risyad V {tahun 1328-1338 H/1909-1918 M}
29)    Muhammad Wahiddin {th. 1338-1340 H/1918-1922 M}
30)    ‘Abdul Majid II {tahun 1340-1342 H/1922-1924 M}.

sumber 1
sumber 2

Macam-macam Puasa yang Dilarang

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ

Ibadah harus dilakukan berdasarkan aturan. Ibadah tanpa aturan, tidak akan membuahkan pahala, bahkan justru menjadi sebab dosa. Sehingga tidak heran, ketika ada orang yang ahli ibadah, namun dia justru menjadi ahli neraka. Sebagaimana yang dialami para rahib, yang menghabiskan hidupnya untuk beribadah di kuilnya. 


Demikian pula puasa. Semua orang memahami, puasa adalah ibadah yang nilainya luar biasa. Namun jika puasa ini dilakukan tanpa aturan, puasa ini justru akan menjadi sumber dosa dan bukan pahala. Ada 6 jenis puasa yang terlarang dalam syariat, berikut rinciannya,

1. Puasa setiap hari (puasa dahr)

Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma pernah bertekad untuk puasa setiap hari dan shalat tahajud sepanjang malam. Mengetahui hal ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menegurnya,

إِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ لَهُ العَيْنُ، وَنَفِهَتْ لَهُ النَّفْسُ، لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الدَّهْرَ

“Jika kamu lakukan tekadmu itu, membuat matamu cekung dan jiwamu kecapekan. Tidak ada puasa bagi orang yang melakukan puasa dahr (puasa setiap hari).” (HR. Bukhari 1979).

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَامَ مَنْ صَامَ الأَبَدَ

“Tidak ada puasa bagi orang yang puasa abadi.” (HR. Bukhari 1977 & Muslim 1159).
Dr. Musthafa Bagha – ulama syafiiyah kontemporer – menjelaskan makna puasa abadi yang dilarang dalam hadis, "Orang tersebut berpuasa setiap hari sepanjang usianya dan tidak pernah meninggalkan puasa, kecuali pada hari diharamkan untuk berpuasa, seperti hari raya atau hari tasyrik." (Ta’liq Shahih Bukhari, 3/40).

Bahkan terdapat ancaman keras bagi orang yang melakukan puasa sepanjang usianya. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Beliau mengatakan,

مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ هَكَذَا؛ وَقَبَضَ كَفَّهُ

“Siapa yang melakukan puasa sepanjang masa, neraka jahannam akan disempitkan untuknya seperti ini.” 
Kemudian beliau menggenggamkan tangannya. (HR. Ahmad 19713. Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini shahih mauquf (keterangan Abu Musa). Namun apakah itu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diperslisihkan ulama tentang keshahihannya. Tetapi mengingat ini masalah ghaib, tidak mungkin seorang sahabat berbicara murni dari pikirannya, sehingga dihukumi sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan, "Zahir hadis, jahannam disempitkan baginya dalam rangka mengekangnya, karena dia menyiksa dirinya sendiri dan memaksa dirinya untuk puasa sepanjang masa. Disamping dia membenci sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meyakini bahwa selain sunah beliau (dengan puasa sepanjang masa), itu lebih baik. Sikap ini menuntut adanya ancaman keras, sehingga hukumnya haram."(Fathul Bari, 4/222).

2. Puasa di dua hari raya

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الفِطْرِ وَالنَّحْرِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada saat idul fitri dan hari berkurban.” (HR. Bukhari 1991, Ibn Majah 1721).

Dalam hadis lain, dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkhutbah, menjelaskan hukum terkait idul fitri dan idul adha,

هَذَانِ يَوْمَانِ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِهِمَا: يَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ، وَاليَوْمُ الآخَرُ تَأْكُلُونَ فِيهِ مِنْ نُسُكِكُمْ

“Ini adalah dua hari,dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melakukan puasa pada hari itu: pada hari kalian selesai melaksanakan puasa (idul fitri) dan hari kedua adalah hari dimana kalian makan dari hasil kurban kalian.” (HR. Bukhari 1990 dan Muslim 1137).

An-Nawawi menjelaskan,

قد أجمع العلماء على تحريم صوم هذين اليومين بكل حال، سواء صامهما عن نذر أو تطوع أو كفارة أو غير ذلك، ولو نذر صومهما متعمداً لعينهما، قال الشافعي والجمهور: لا ينعقد نذره ولا يلزمه قضاؤهما. وقال أبو حنيفة: ينعقد، ويلزمه قضاؤهما.

“Ulama sepakat haramnya puasa di dua hari raya, apapun puasanya. Baik puasa karena nazar, sunah, kafarah, atau sebab lainnya. Jika ada orang yang bernazar puasa pada hari raya, Imam Syafii dan mayoritas ulama mengatakan, ‘Nazarnya batal dan dia tidak wajib qadha.’ Sementara Abu Hanifah mengatakan, ‘Nazarnya sah, dan dia wajib mengqadhanya.’” (Syarh Shahih Muslim, 8/15)

3. Puasa sunah yang dilakukan wanita, tanpa izin suaminya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَصُومُ المَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Seorang wanita tidak boleh puasa (sunah) sementara suaminya ada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari 5192, dan Abu Daud 2458).
Larangan ini tidak berlaku jika suami tidak di rumah. Sang istri boleh berpuasa sunah, meskipun dia tidak izin suaminya.

Ibnu Hazm mengatakan,

لا يحل لذات الزوج أن تصوم تطوعاً بغير إذنه، فإن كان غائباً لا تقدر على استئذانه أو تعذّر، فلتصم بالتطوّع إن شاءت

“Tidak halal bagi wanita yang bersuami untuk melakukan puasa sunah tanpa izin suaminya. Jika suami tidak ada, sehingga dia tidak bisa meminta izin, dia boleh berpuasa sunah, jika dia menginginkannya.” (Al-Muhalla, 4/453).
Karena memenuhi hak suami adalah wajib, sementara melaksanakan puasa sunah sifatnya anjuran. Dan yang wajib lebih didahulukan dari pada yang sunah.

4. Puasa pada hari tasyriq

Dari Nubaisyah Al-Hudzali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim 1141)
An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.

Ibnu ‘Abdil-Barr menegaskan bahwa ulama sepakat tentang larangan ini. Beliau menyatakan,

وأما صيام أيام التشريق فلا خلاف بين فقهاء الأمصار فيما علمت أنه لا يجوز لأحد صومها تطوعا

“Tentang puasa pada hari-hari tasyriq, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama di berbagai negeri bahwasannya tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk berpuasa sunnah ketika itu” (At-Tamhiid, 12/127).

Al-Hafidz Ibn Rajab menjelaskan sebab larangan puasa di hari tasyrik,

إنما نهى عن صيام أيام التشريق لأنها أعياد المسلمين مع يوم النحر، فلا تصام بمنى ولا غيرها عند جمهور العلماء خلافاً لعطاء في قوله: إن النهي يختص بأهل منى، وإنما نهى عن التطوع بصيامها سواء وافق عادة أو لم يوافق

‘Dilarang berpuasa hari tasyrik, karena hari tasyrik termasuk hari raya kaum muslimin, bersambung dengan hari raya kurban. Karena itu, tidak boleh puasa padaha hari tasyrik, baik di Mina maupun lainnya menurut mayoritas ulama. Tidak sebagaimana pendapat Atha yang mengatakan bahwa larangan ini hanya khusus bagi mereka yang sedang berada di Mina. Yang dilarang adalah puasa sunah, baik itu puasa rutinitas maupun bukan rutinitas.’ (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 292).

5. Puasa hari syak (meragukan)

Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Siapa yang puasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari secara Muallaq, 3/27).
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

استُدل به على تحريم صوم يوم الشك لأن الصحابي لا يقول ذلك من قبل رأيه فيكون من قبيل المرفوع

“Hadis ini dijadikan dalil haramnya puasa pada hari syak. Karena sahabat Ammar tidak mungkin mengatakan demikian dari pendapat pribadinya, sehingga dihukumi sebagaimana hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Fathul Bari, 4/120).

Apa itu hari syak?

Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, hasil dari penggenapan bulan sya’ban, karena hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau karena cuaca yang kurang baik. (As-Syarhul Mumthi’, 6/478).

An-Nawawi mengatakan,

يوم الشك هو يوم الثلاثين من شعبان إذا وقع في ألسنة الناس إنه رؤى ولم يقل عدل إنه رآه

Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, dimana banyak orang membicarakan bahwa hilal sudah terlihat, padahal tidak ada satupun saksi yang adil, dirinya telah melihat. (Al-Majmu’, 6/401).

Salah satu contoh puasa hari syak adalah puasa yang dilakukan oleh kaum muslimin di tanah air berdasarkan hisab, padahal hilal belum kelihatan. Sehingga, sejatinya hari itu adalah tanggal 30 sya’ban dan bukan 1 ramadhan.

6. Mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا، فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, dia boleh melakukannya.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).
An-Nawawi mengatakan,

فيه التصريح بالنهي عن استقبال رمضان بصوم يوم أو يومين لمن لم يصادف عادةً له أو يصله بما قبله، فإن لم يصله ولا صادف عادة فهو حرام، هذا هو الصحيح من مذهبنا

Dalam hadis ini terdapat larangan tegas mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan puasa sunah yang bertepatan dengan hari itu, atau tidak bersambung dengan puasa sunnah sebelumnya. Jika bukan karena dua alasan tersebut, statusnya haram. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab kami (syafiiyah). (Syarh Shahih Muslim, 7/194)

Sebagai contoh untuk lebih mudah memahami maksud hadis di atas, Tahun 1984, tanggal 1 ramadhan jatuh pada hari selasa. Bolehkah berpuasa pada hari senin sebelumnya?
Puasa pada hari senin itu boleh bagi 2 orang: (1) mereka yang melaksanakan puasa sya’ban, dia sambung puasanya hingga akhir sya’ban, (2) mereka yang terbiasa puasa sunah hari senin.
Sementara selain itu, haram melakukan puasa sunah ketika itu.
Allahu a’alam

Sumber

Hukum Berdo'a di Social Media?


بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Seringkali kita jumpai status facebook, tweet, dll. yang berisi do'a ataupun harapan kepada Allah subhanahu wa ta'ala, saya pribadi kadang bertanya-tanya, ngapain sih berdo'a di facebook??? mau minta sama Allah apa mau cari perhatian??? jadi sebenernya boleh ga sih berdo'a di sosial media?

Secara umum tidak masalah berdoa di sosial media atau di tempat umum atau berdoa dengan suara yang di dengar orang lain. Dalil masalah ini cukup banyak, diantaranya doa yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika khutbah jumat karena permintaan orang badui agar beliau memohon kepada Allah untuk segera menurunkan hujan. Termasuk doa-doa yang dibaca oleh khatib ketika khutbah jumat. Dan kita tahu, doa itu dibaca di tempat umum, di hadapan banyak masyarakat.

Hanya saja, untuk beberapa kasus tertentu terkait doa di sosial media, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan, antara lain :

Pertama, 

membuat status berisi doa di sosmed dalam rangka mengajarkan doa yang shahih kepada orang lain. Misalnya memposting doa yang benar ketika hendak tidur, atau bangun tidur atau dzikir pagi – petang, atau doa selama hujan, dst.

InsyaaAllah kegiatan semacam ini termasuk amal sholeh. Mendakwahkan kebaikan kepada rekan-rekan di sosial media untuk melakukan amalan sunah. Karena itu, perlu kita pastikan, doa yang anda sebarkan, telah terjamin keshahihannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bahwa orang yang memotivasi orang lain untuk berbuat baik, dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengikuti ajakannya. Dalam hadis dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Siapa yang menunjukkan kebaikan, dia akan mendapatkan pahala seperti pahala pelakunya (orang yang mengikutinya). (HR. Muslim 1893).

Kedua, doa yang sifatnya pribadi


Doa yang tidak selayaknya didengar orang lain, yang merupakan bagian dari privasi seseorang, tidak selayaknya disebarkan di sosmed. Seperti doa yang isinya penyesalan atas perbuatan maksiat dengan menyebutkan bentuk maksiat yang dilakukan. Atau doa yang isinya keluhan masalah pribadi, yang tidak selayaknya diketahui orang lain.

Karena kita diajarkan untuk selalu menjaga kehormatan, dan tidak membeberkan aib pribadi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Setiap umatku dimaafkan (kesalahannya) kecuali orang-orang melakukan mujaharah (terang-terangan bermaksiat), dan termasuk sikap mujaharah adalah seseorang melakukan sebuah perbuatan dosa di malam hari, kemudian pagi harinya dia membuka rahasianya dan mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan seperti ini, seperti ini’, padahal Allah telah menutupi dosanya. Di malam hari, Allah tutupi dosanya, namun di pagi hari, dia singkap tabir Allah pada dirinya. (HR. Bukhari 6069).

Syariat juga mengajarkan agar kita tidak menjadi hamba yang mudah mengeluh kepada orang lain. karena sikap semacam ini menunjukkan kurangnya tawakkal. Allah mencontohkan sikap para nabi, yang mereka hanya mengeluhkan masalahnya kepada Allah. Nabi Ya’kub, ketika mendapatkan ujian kesedian yang mendalam, beliau mengatakan,

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ

“Ya’qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku..” (QS. Yusuf: 86)


Allahu a’lam

7 Perkara Pembatal Puasa yang Disepakati Ulama


بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ


Berikut tujuh pembatal puasa yang disepakati para ulama 4 madzhab atau berdasarkan keterangan para ulama ahli tahqiq,

1. Makan

2. Minum

3. Hubungan badan

Dalilnya adalah firman Allah,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَٱشْرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلأسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..(QS. Al-Baqarah: 187).

Makan, minum, dan hubungan badan dihalalkan ketika malam hari ramadhan. Kemudian Allah perintahkan agar kaum muslimin menyempurnakan puasa sampai malam, meruakan dalil bahwa tiga perbuatan itu dilarang ketika siang hari ramadhan.

Ibnul Mundzir mengatakan,

لم يختلف أهل العلم أن الله عز وجل حرَّم على الصائم في نهار الصوم الرفث وهو الجماع والأكل والشرب

“Tidak terdapat perbedaan di kalangan para ulama bahwa Allah mengharamkan bagi orang yang berpuasa untuk melakukan rafats yaitu jimak, makan, dan minum di siang hari.” (Al-ijma’, Ibnul Mundzir, hlm. 59)

Ibnu Qudamah mengatakan,

يفطر بالأكل والشرب بالإجماع، وبدلالة الكتاب والسنة

“Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan sunah.” (Al-Mughni, 3/119).

Beliau juga mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من جامع في الفرج فأنزل، أو لم ينزل، أو دون الفرج فأنزل، أنه يفسد صومه

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, 3/134)

Pernyataan ijma juga disampaikan Syaikhul islam Ibn Taimiyah,

ما يفطر بالنصٍّ والإجماع وهو: الأكل والشرب والجماع

“Sesuatu yang bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan hubungan badan.” (25/219)

4. Haid

5. Nifas

Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa..” (HR. Bukhari 304).

Ibnu Qudamah mengatakan,

أجمع أهل العلم على أن الحائض والنفساء لا يحل لهما الصوم، وأنهما يفطران رمضان ويقضيان، وأنهما إذا صامتا لم يجزئهما الصوم

“Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, 3/152).

Syaikhul Islam juga menegaskan adanya ijma’,

وكذلك ثبت بالسنة واتفاق المسلمين أنّ دم الحيض ينافي الصوم، فلا تصوم الحائض، لكن تقضي الصوم

“Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa, namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, 25/220).

Di tempat lain dalam Majmu’ Fatawa, beliau juga menegaskan,

وخروج دم الحيض والنفاس يفطر باتفاق العلماء

“Keluarnya darah haid dan nifas membatalkan puasa dengan sepakat ulama.” (Majmu’ Fatawa, 25/267)

6. Murtad

Allah berfirman,

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam), lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah: 217)

Ibnu Qudamah mengatakan,

لا نعلم بين أهل العلم خلافاً في أنّ من ارتد عن الإسلام في أثناء الصوم أنه يفسد صومه، وعليه قضاء ذلك إذا عاد إلى الإسلام، سواءٌ أسلم في أثناء اليوم أو بعد انقضائه…

“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam di hari murtadnya atau di hari yang lain…” (Al-Mughni, 3/133)

7. Muntah dengan Sengaja

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنْ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Siapa yang muntah tidak sengaja dan dia sedang puasa maka tidak perlu dia qadha. Namun barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengqadha.” (HR. Abu Daud 2380 dan dishahihkan Al-Albani).

Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’ mengatakan,

وأجمعوا على إبطال صوم من استقاء عامداً

“Para ulama sepakat bahwa puasa orang yang muntah dengan sengaja statusnya batal.” (Al-Ijma’, 49).

Inilah pendapat ulama 4 madzhab, hanya saja mereka berbeda pendapat tantang rincian muntah yang membatalkan puasa. Berapa ukuran muntah yang bisa menyebabkan puasa seseorang batal.

Menurut Abu Yusuf, muntah yang membatalkan adalah muntah yang ukurannya sepenuh mulut. Jika kurang dari itu, puasanya tidak batal, karena tidak dianggap muntah. (Al-Hidayah, 1/120).

Sementara dari Imam Ahmad, ada 3 riwayat yang berbeda,

Muntah dengan sengaja membatalkan puasa baik sedikit maupun banyak

Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika sepenuh mulut.

Muntah tidak membatalkan puasa, kecuali jika banyaknya setengah mulut

Riwayat pertama yang lebih kuat, berdasarkan makna umum dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
[simak Al-Mughni, 3/132]

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

Menurut UU no.1 tahun 2013 pasal 1, Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Sedangkan LKM Syariah merupakan LKM yang menggunakan prinsip-prinsip syariah.

Walaupun terdapat banyak definisi LKM, terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut, yaitu:

1. Menyediakan beragam  jenis pelayanan keuangan
Menyediakan pelayanan keuangan  yang  beragam  seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun  asuransi.
2. Melayani rakyat miskin
Keuangan mikro hidup dan berkembang  pada awalnya memang  untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas.
3. Menggunakan prosedur dan mekanisme  yang kontekstual dan fleksibel
Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok  masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk  keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.

Lembaga Keuangan Mikro syariah (LKMS) terdiri dari berbagai lembaga diantaranya BPRS (Bank Perkreditan Mikro Syariah), BMT (Baitul Mal Wat Tanmil), serta Koperasi Syariah. (www.zanikhan.multiply.com). Ketiga lembaga tersebut mempunyau hubungan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain dan berhubungan erat dengan lembaga syariah lainnya yang lebih besar.


Berikut ini beberapa penjelasan mengenai BPRS,BMT dan Koperasi Syariah:

1. BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah)

BPRS merupakan bank sistem transaksiknya menggunakan cara konvensional namun berdasarkan prinsip syariah, BPRS tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran kepada masyarakat.Bentuk hukum bank umum dan BPR dapat berupa Peseroan Terbatas(Perseroan), Perusahaan Daerah, dan Koperasi. Mekanisme operasional BPR Syariah tunduk pada peratuan BI Nomor 6/17/PBI/2004. Dalam aturan ini usaha BPR Syariah adalah :
A. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk antara lain :
  1. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
  2. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
  3. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadi’ah atau mudharabah;

B.  Menyalurkan dana dalam bentuk antara lain :
  1. Transaksi jual beli dalam aktifitasnya menggunakan prinsip murabahah, isthisna dan salam;
  2. Transaksi sewa menyewa di landaskan dengan prinsip ijarah;
  3. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip : mudharabah; dan musyarakah;
  4. Pembiayaan yang dilakukan dengan berlandaskan prinsip qardh
C. Melakukan transaksi yang tidak melanggar Undang-undang Perbankan dan prinsip syariah.



2. BMT (Baitul Mal Wat Tamwil)

Definisi dari BMT secara harfiah(bahasa) yaitu baitul maal dan baitul tanwil.Baitul maal merupakan lembaga keuangan Islam yang memiliki kegiatan utama menghimpun dan mendistribusikan dana ZISWAHIB ( zakat, infak,shadaqah, waqaf dan hibah) tanpa melihat keuntungan yang di dapatkan (non profit oriented). Baitul tamwil termasuk lembaga keuangan Islam informal yang dalam kegiatan maupun operasionaknya memperhitungkan keuntungan(profit oriented). Kegiatan utama bitul tamwil adalah menghimpun dana dan mendistribusikan kembali kepada anggota dengan imbalan bagi hasil atau mark-up/margin yang berlandaskan sistem syariah.

Adapun latar belakang didirikannya BMT adalah sebagai berikut:

  1. Sebagian masyarakat dianggap tidak bankable (sehingga susah b.memperoleh pendanaan, kalaupun ada sumber dananya mahal
  2. Untuk pemberdayaan dan pembinaan usaha masyarakat muslim melalui masjid dan masyarakat sekitarnya

Ciri –ciri dari BMT adalah sebagai berikut:

  1. Berbadan Hukum Koperasi.
  2. Bertujuan menyediakan dana murah dan cepat serta tidak berbelit-belit guna pengembangan dan memajukan usaha bagi anggotanya.
  3. Skala produk dan pendanaan yang terbtas menjadi Prinsip dan pembeda dengan lembaga keuangan lainnya. Sedangkan mekanismenyadan transaksinya hampir sama dengan perbankan syariah.

 

3. Koperasi Syariah

Koperasi syariah di Indonesia dalam periode terakhir berkembang cukup pesat dan Continuitas yang tinggi dalam mengembang usahanya dalam memenuhi kebutuhan para anggotanya. Hal ini dapat dilihat dari banyak nya berdiri koperasi-koperasi syariah di seluruh pelosok negeri.Pertumbuhan Koperasi Jasa Keuangan Syariah/Unit Jasa Keuangan Syariah (KJKS/UJKS) juga mengalami perkembangan yang pesat dan luar biasa,selain itu KJKS/UJKS merupakan instrumen pemberdayaanUMKM.Pelaksanaan kegiatan usaha berbasis pola syariah ini dimulai pada tahun 2003, sebanyak 26 KSP/USP-Koperasi Syariah. Lalu meningkat menjadi 100 KSP/USP koperasi syariah pada tahun 2004. Tahun 2007 diperkirakan jumlah koperasi syariah mencapai 3000 buah.Dan peningkatan koperasi syariah terus meningkat ,hingga akhir tahun 2010 ini lebih dari 4000 koperasi yang ada di masyarakat,yang tersebardi seluruh wilayah Indonesia.

Koperasi syariah menerapkan beberapa aspek dalam menjalankan kegiatannya guna melayani para anggotanya,termasuk juga aspek azas keseimbangan, azas keadilan,azas kerjasama.Contohnya dalam produksi dimana produksi dalam koperasi menghasilkan sesuatu yang bisa di manfaatkan oleh anggotanya maupun masyarakat, maka pebankan dalam hal ini sudah menerapkan aspek keadilan.Keputusan Menteri mengenai petunjuk pelaksanaan kegiatan usaha koperasi yang disahkan pada September 2004 menyebutkan bahwa setiap koperasi yang akan memulai unit jasa keuangan syariah, diharuskan meyetor modal awal minimal Rp 15 juta untuk primer dan Rp 50 juta untuk koperasi sekunder.

Semua bank, koperasi jasa keuangan syariah dan unit jasa keuangan syariah diperkenankan menghimpun dana dari para anggota maupun masyarakat baik berupa tabungan, simpanan berjangka dalam pembiayaan mudharabah,musyarakah, murabahah, salam, istisna, ijarah dan alqadr. Selain kegiatan tersebut koperasi jasa keuangan juga diperkenankan menjalankan kegiatan pengumpulan dan penyaluran dana zakat, infak, dan sedekah kepada masyarakat yang membutuhkan dan layak menerima.Termasuk juga waqaf yang di kelola secara terpisah.

Syarat-syarat Hijab yang Sesuai Syari'ah

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sambil menanti jam kuliah mendingan kita posting hehehe... melihat fenomena jilbab-jilbab "gaul" masa kini yang bersliweran di jalan-jalan, admin jadi bingung sebenernya fungsi dan kriteria hijab yang bener itu kaya gimana sih?

 ya biasalah namanya juga kutu komputer ya langsung searching deh... akhirnya dapet beberapa referensi yang kurang lebih sama, nah berikut penjelasannya :)

Adapun syarat-syarat hijab syar’i adalah:

Hijab yang sesuai syari'ah
1. Hendaklah hijab/jilbab menutup seluruh badan.

Allah berfirman:

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh badan mereka” (QS. Al Ahzab: 59).

Jilbab adalah pakaian panjang yang menutup seluruh badan (dari kepala hingga mata kaki), artinya dengan mengulurkan keseluruh badan yang merupakan aurat wanita. jadi jilbab yang syar’i adalah yang menutup seluruh badan wanita.

2. Hendaklah hijab/jilbab tersebut tebal, tidak tipis dan tidak transparan, karena maksud dari hijab adalah menutup, jika tidak menutup, tidak dinamakan hijab, karena hal tersebut tidak menghalangi penglihatan, sehingga seperti yang di katakan dalam hadits Nabi “Berpakaian tetapi pada hakikatnya telanjang”.

3. Hendaklah hijab/jilbab tidak berupa perhiasan atau pakaian yang menyolok, yang memiliki warnawarni yang menarik, sehingga menimbulkan perhatian.

Allah berfirman:

“Dan tidak menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak darinya” (QS; An Nur : 31).

Makna apa yang nampak darinya, yaitu dengan tanpa disengaja. Apabila hijab itu sendiri perhiasan, maka tidak boleh dipakai, dan tidakndinamakan hijab, sebab hijab adalah sesuatu yang menghalangi timbulnya perhiasan terhadap bukan muhrim.

4. Hendaklah hijab/jilbab tersebut tidak sempit, ketat. Tidak membentuk lekuk tubuh dan aurat, maka jilbab harus luas dan lebar, sehingga tidak menimbulkan fitnah.

5. Hendaklah tidak memakai minyak wangi, yang menyebabkan timbulnya fitnah, yaitu rangsangan bagi laki-laki.

Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya wanita apabila memakai minyak wangi lalu lewat pada suatu majlis, maka ia adalah ini dan ini yaitu: ia wanita pezina” (HR. Ashabus sunan, Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih).

Dalam riwayat lain:

“Sesungguhnya wanita bila memakai minyak wangi kemudian lewat pada suatu majlis/ perkumpulan kaum agar mereka mencium baunya, maka ia telah berzina”.

6. Hendaklah hijab/jilbab tersebut tidak menyerupai pakaian laki-laki. Dalam hadits yang di riwayatkan Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

“Nabi melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Dalam hadits yang lain:

“Allah melaknat laki-laki yang bergaya perempuan dan perempuan yang bergaya laki-laki” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).

Maksudnya: perempuan yang menyerupai laki-laki dalam pakaiannya, modelnya, seperti perempuan zaman sekarang ini, begitu pula laki-laki yang menyerupai perempuan dalam pakaian, gaya bicara dan lain sebagainya.

Kita mohon kepada Allah kesehatan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah

Sumber : http://artikelmuslimah.wordpress.com/2011/02/08/syarat-syarat-hijab-syari/

Bolehkah Shalat Sambil Memegang Mushaf?

Shalat sambil memegang mushaf

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
alhamdulillah akhirnya bisa posting lagi, 3 hari ga posting itu membuatku galau *lebay.... terinspirasi dari pertanyaan seorang teman yang melihat salah seorang jamaah shalat yang membaca al-qur'an ketika sedang shalat, "boleh ga sih baca al-qur'an ketika sedang shalat? bukannya itu malah menimbulkan banyak gerakan di luar gerakan shalat?"

nah akhirnya setelah nyari-nyari ketemu juga jawaban yang menurut admin pas, jawaban ini dari Ust. Taufik Hamim Effendi, Lc., MA , yuk kita simak jawaban Beliau ;

Jawaban :


السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Saudara penanya dan netters eramuslim yang berbahagia, sebagaimana yang kita ketahui bahwa diantara bentuk taqarrub kita kepada Allah SWT adalah saat kita mampu menghimpun shalat dengan tilawah Al-Quran yang baik, sehingga banyak orang yang merindukan dapat khatam Al-Quran di dalam shalatnya. Walau pun demikian tidak sedikit orang yang memiliki keterbatas hafalan sehingga belum mampu untuk menikmati sshalatnya dengan bacaan Al-Quran yang telah dihafalnya, karenanya para fuqaha (Ahli fiqih) membahas boleh tidaknya memegang dan membaca mushaf dalam shalat atau melihat mushaf yang terbuka di hadapan orang yang shalat.

Kita ingin selalu memiliki kerinduan agar Allah SWT menjadikan Al-Quran sebagai penyejuk hati karena sering kita baca khususnya di dalam shalat, dan tentu saat shalat dengan banyak membaca ayat Al-Quran yang lebih lama nikmatnya akan bertambah. Namun yang sering menjadi pertanyaan banyak orang adalah bolehkah saat shalat kita membuka dan memegang Al-Quran karane dengan alasan kita belum banyak hafal ayat Al-Quran atau menjadi makmum dan sang imam bacaan panjang?.

Jika kita amati mengenai hukum boleh tidaknya membaca mushaf saat shalat, secara global setidaknya ada dua pandangan ulama yang berbeda. yang pertama membolehkan dan yang lainnya melarangnya.

Pertama: 

Boleh shalat sambil memegang dan membaca Al-Quran dari mushaf, pendapat ini adalah pendapat Jumhur Ulama (Mayoritas Ulama). Baik saat menjadi imam atau pun sebagai makmum, dalam shalat fardhu atau  pun shalat sunnah, orang yang sudah hafal atau pun belum hafal Al-Quran.

Diantara dalil mereka adalah Hadits Ummil Mukminin Aisyah RA bahwa dia pernah diimami oleh budaknya yang bernama Dzakwan dan dia membaca dari mushaf. (HR. Bukhari)

Imam Zuhri pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang membaca (saat shalat) di bulan Ramadhan dengan mushaf.  Beliau menjawab: “Yang kami pilih adalah mereka membacanya dengan mushaf”.

Menurut pendapat ini membaca Al-Quran adalah ibadah maka melihatnya pun juga ibadah. Menggambungkan ibadah kepada ibadah lainnya tidak bisa menimbulkan larangan bahkan akan menghasilkan pahala di mana di dalam ada tambahan dalam beramal berupa melihat mushaf.

Kedua: 

Madzhab Hanafiyah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa tidak boleh shalat sambil memegang dan membaca Al-Quran dari mushaf, ketika menjadi imam atau shalat sendirian, membacanya sedikit atau banyak. Diantara alasan pendapat ini adalah saat orang membawa mushaf, melihatnya membolak-baliknya akan merusak shalat dengan banyaknya gerakan selain gerakan shalat.

Jika anda lebih cenderung kapada pendapat pertama yang membolehkan memegang mushaf saat shalat, maka hendaknya harus diperhatikan adalah jangan sampai benyak gerakan di dalam shalat yang tidak perlu. Juga anda bisa menggunakan mushaf yang bisa anda masukan di saku baju anda.

Membaca hafalan dalam shalat

Lalu membaca surah setelah bacaan Al-Fatihah sembari menghafal sewaktu shalat tahajjud. Mungkin yang anda maksud adalah saat shalat tahajjud setelah membaca Al-Fatihah kemudian membaca hafalan, bukan menghafal saat shalat tahajjud. Jadi untuk menghafal Al-Quran kita melakukannya di luar shalat, bukannya saat kita shalat, apakah shalat wajib atau pun shalat sunnah. Karena kalau kita menghafal saat shalat maka akan mengganggu shalat kita dengan terulang dan banyaknya kesalahan ayat Al-Quran yang ingin kita hafalkan. Dan membaca hafalan saat shalat ini merupakan salah satu tips dalam memperkuat atau menjaga hafalan Al-Quran kita. Hafalan kita akan selalu melekat dalam ingatan jika selalu kita baca dalam shalat, khususnya saat shalat tahajjud atau Qiyamullail. Terlebih saat menjadi imam shalat tarawih di suatu masjid, dengan syarat pengurus dan jamaah masjid itu tidak merasa keberatan jika.

Banyak membaca surat-surat yang pernah kita hafal akan dapat menguatkan dan melekatkan hafalan dalam memori, khususnya dalam shalat. Oleh kerenanya, hendaknya kita selalu bersungguh-sunguh mengulang-ngulang hafalan dengan membacanya di dalam shalat. Kita dapat melakukan hal itu dalam shalat tahujud beberapa rakaat.

Rasulullah SAW telah mengajarkan cara yang demikian. Cara itu juga pernah dilalui oleh orang-orang shalih sehingga hafalan Al-Qur’an mereka kuat, tidak mudah lupa. Rasulullah SAW bersabda: “Dan apabila seorang penghafal Al-Qur’an mendirikan shalat kemudian dia membacanya siang dan malam hari; maka dia akan selalu mengingatnya, dan apabila dia tidak melakukannya maka dia akan melupakannya‚ (HR. Muslim).

Semoga Allah SWT memberikan kemudahan kepada kita semua khususnya saudara penanya dalam menghafal Al-Quran, Amin. Wallahu a’lam bishshawab.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Taufik Hamim Effendi, Lc., MA (http://muntadaquran.net)

Bila ingin bertanya silahkan kirimkan email ke ustadztaufik@gmail.com

Semoga bermanfaat, sampai jumpa di postingan selanjutnya :)

Sumber : http://www.eramuslim.com/ustadz-menjawab/shalat-memegang-mushaf-bolehkah.htm#.UYk4A0q2VhA

Apakah Calon Istri harus Memberitahukan Status Keperawanannya kepada Calon Suami?


Menikah merupakan materi yang sangat menarik untuk dibahas, di setiap perkuliahan yang saya ikuti selalu ramai kalo udah ngebahas yang namanya nikah (maklum bujangan semua...hehehe). Sudah selayaknya dalam pernikahan dilandasi oleh kejujuran dari kedua belah pihak (sok tua :D), sebelum kita memutuskan untuk menikahi seseorang tentunya kita berhak mengetahui tentang orang yang akan kita nikahi tersebut. Bahkan, kita boleh mempertanyakan status keperawanan calon istri kita namun, sebagai seorang laki-laki rasanya saya terlalu sungkan dan tidak enak hati untuk menanyakan hal tersebut kepada calon istri (takut tersinggung karena kan terlalu privasi ya).

Nah, lalu muncul pertanyaan lain dibenak saya, "Apakah calon istri wajib memberitahukan perihal status keperawanannya kepada sang calon suami?", dalam konteks ini yang saya maksudkan adalah wanita yang sudah berzina sebelumnya. Setelah muter-muter di mbah google 1x24 jam (lebay), akhirnya dapet juga jawabannya gan ;


Jawaban :


Alhamdulillah

Sesungguhnya nestapa ini bukan yang pertama terjadi, dan bukan pula yang terakhir. Fitnah syahwat yang paling besar adalah laki-laki yang terkena fitnah wanita dan wanita yang terkena fitnah laki-laki.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah, berkata,

“Bercampurnya dua jenis manusia ini merupakan sebab fitnah. Seorang laki-laki yang bercampur baur dengan wanita, ibarat bercampurnya api dengan kayu bakar.”

Al-Istiqomah, 1/361

Demikianlah halnya api, dia membuat keduanya menyala, kemudian sang laki-laki meninggalkan setelah merenggutnya dan mencari wanita selainnya.

Kejadian yang selalu berulang-ulang. Sang laki-laki menariknya pelan-pelan, kemudian merenggut kegadisannya, setelah itu dia tinggalkan dan mencari wanita lain sebagai isteri dan keluarganya yang dia merasa aman kepadanya. Akan tetapi siapa yang menyadari pelajaran ini dan mengetahui hakekat tipu daya sebelum segala sesuatunya terlambat. Sebelum menyesal dan sebelum tidak berguna lagi penyesalan.

Kami mohon kepada Allah agar dia bertaubat dan bagi siapa saja yang telah bermaksiat, serta dapat belajar dari pelajaran yang keras dan pahit tersebut. Bagaimana jika Allah menghendaki hamba-Nya mendapatkan petunjuk dan istiqomah, sedangkan setan dan para pendukungnya menghendaki kesesatan dan penyimpangan.

Allah Ta’ala berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ * وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيماً * يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفاً ) سورة النساء:26-28) .

“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu, dan menunjukimu kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak) menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 26-28)

sekarang yang terjadi telah terjadi. Jika si perempuan adalah saudara kita maka, kewajiban kita yang paling utama adalah membantunya bertaubat (taubat nasuha). Semoga Allah menerima taubatnya dan menutup aibnya serapat-rapatnya.

adapun jika memang sudah dilamar, hendaknya dia meneruskannya selama yang dia harap adalah pemuda yang baik dan saleh. Dia tidak perlu menjahit selaput daranya yang hilang akibat perbuatan zina, karena itu termasuk penipuan. Tapi juga dia tidak perlu membuka aib dirinya. Tetapi tetap saja meneruskan rencana tersebut sesuai kehendak Allah. Semoga Allah menutup aib yang ada padanya. Jika sang suami tidak menyadari hal tersebut setelah pernikahan dan Allah menutup semua rahasianya, maka teruskan pernikahan apa adanya. Tapi jika ternyata sang suami mengetahui permasalahan tersebut, maka mungkin saudaranya atau dia sendiri dapat memberikan isyarat bahwa kegadisannya hilang akibat kecelakaan, atau semacamnya dengan bahasa isyarat. Karena sering terjadi kegadisan seseorang dapat hilang dengan kejadian semacam itu. Semoga, jika dia telah berusaha, sang suami menutup aibnya.

Apabila hal tersebut tidak mungkin dan sang suami telah mengetahui bahwa kegadisannya telah hilang, maka sang suami boleh membatalkan pernikahannya jika dia menginginkan hal tersebut serta minta dikembalikan apa yang telah dia berikan kepada isterinya tersebut, baik mahar atau biaya perkawinan. Semoga dengan dibatalkannya pernikahan tersebut, walau seteleh pernikahan yang sesaat, lebih baik baginya dan lebih menutup aibnya. Sebab setelah itu, dia akan tergolong sebagai janda.  Dan jika dia menikah lagi setelah itu, dia dapat menikah sebagaimana seorang janda.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah ke jalan yang lurus.
Semoga bermanfaat ^^

Sumber : Arrahmah.com

Followers

 
Copyright © 2013. SHARING IS CARING - All Rights Reserved

Distributed By Free Blogger Templates | Lyrics | Songs.pk | Download Ringtones | HD Wallpapers For Mobile

Proudly powered by Blogger