Fotonya gan :
maaf kalo rada mirip :D
admin juga sempet bingung nih masa orang diusir karena ganteng??? toh kan itu bukan dia yang mau -_- , nah ini ternyata penjelasannya kenapa mereka harus diusir, cekidot >>>
Penjelasan :
Salam, Ustad mesti sudah dengar
berita orang ganteng yang dideportasi dari Saudi ke Abu Dabi. Sebenarnya
semacam ini melanggar hak tidak? Karena dia ganteng kan gak salah. Kenapa hrs
dideportasi? Mohon tnggapannya… Trims
Dari: Imma
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu
‘ala rasulillah, amma ba’du,
Bagian dari keistimewaan
masyarakat kita, mudah memberikan komentar terhadap masalah yang sama sekali
bukan menjadi kepentingannya. Bagi dunia pers, berita aneh adalah berita baik.
Karena dengan ini dia bisa mendapatkan rating kunjungan pembaca yang lebih
tinggi. Urusan mendidik dan tidak mendidik, bukan jadi soal. Yang penting bisa
tetap laris.
Deportasi orang tampan yang
dilakukan pemerintah saudi merupakan contoh dalam hal ini. Apa kepentingan
masyarakat indonesia dengan kebijakan ini? Sampai mereka harus gempar, bahkan
memberikan komentar tanpa arah. Meskipun setidaknya ada satu pelajaran yang
bisa kita tangkap dari fenomena ini, bahwa komentar masyarakat kita terhadap
kasus tersebut menunjukkan bagaimana tingkat pemahaman mereka terhadap syariat
islam.
Berikut beberapa catatan yang
bisa kita perhatikan terkait kasus deportasi tersebut,
Pertama, sejatinya kebijakan
semacam ini pernah dilaksanakan di zaman khalifah Umar bin Khatab radhiyallahu
‘anhu.
Suatu ketika Umar radhiyallahu
‘anhu jalan-jalan di malam hari, melaksanakan tugas sebagai khalifah. Tiba-tiba
ada seorang perempuan yang memanggil-manggil nama Nashr bin Hajjaj. Dia
berangan-angan untuk bertemu Nashr, sampai tidak bisa tidur. Wanita ini
bersyair,
هل من سبيل إلى الخمر فأشربها ….. أو
هل من سبيل إلى نصر بن الحجاج
Apakah ada jalan mendapatkan arak
agar saya dapat meminumnya * * *
Atau apakah ada jalan untuk
menemui Nashr bin Hajjaj.
Dia sedang mabuk kepayang, jatuh
cinta dengan Nashr bin Hajjaj.
Pagi harinya, Umar mencari
identitas Nashr bin Hajjaj. Ternyata dia berasal dari Bani Sulaim. Seketika
Umar radhiyallahu ‘anhu menyuruh Nasrh untuk menghadap. Ternyata Nashr bin
Hajjaj ialah orang yang pandai bersyair, sangat bagus rambutnya dan sangat tampan
wajahnya.
Kemudian Umar memerintahkan agar
rambutnya digundul. Dia pun menggundul rambutnya. Tapi ternyata dia semakin
tampan. Lantas Umar memerintahkan agar dia memakai surban. Setelah memakai
surban, justru menambah ketampanananya dan menjadi hiasan baginya. Lalu Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak akan tenang bersamaku seorang laki-laki yang
dipanggil-panggil oleh perempuan.” Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu memberinya
harta yang banyak dan dia mengutusnya ke Bashrah agar dia melakukan perdagangan
yang dapat menyibukkan dirinya dari memikirkan perempuan dan menyibukkan
perempuan dari dirinya.
Kisah ini disebutkan oleh
sejumlah ulama. Diantaranya Syaikhul islam dalam kitab Istiqamah dan Majmu’
Fatawa, Ibnul Qoyim dalam Badai Al-Fawaid, Al-Alusi dalam Tafsirnya; Ruhul
Ma’ani, dan As-Syinqithi dalam Adhwaul Bayan. Kisah ini dishahihkan Al-Hafidz
Ibn Hajar dalam Al-Ishabah (6/485).
Kedua, bagi orang yang belum
memahami rahasia dibalik kesempurnaan syariat, akan bertanya-tanya, apa urusan
Umar dengan ketampanan Nashr bin Hajjaj?
Tentu saja yang dilakukan Umar
bukan karena beliau iri dengan Nashr atau semata karena kurang kerjaan.
Pemimpin sekelas Umar sangat jauh dari dugaan semacam ini.
Untuk bisa mengerti latar
belakang keputusan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, kita perlu memahami satu
kata kunci bahwa syariat islam adalah syariat yang membuka setiap jalan
kebaikan dan menutup semua celah keburukan.
Jika kita perhatikan aturan
syariat, kita bisa menyimpulkan bahwa syariat islam sangat antusias untuk
membuka setiap celah kebaikan dunia-akhirat dan menutup rapat setiap celah
keburukan dunia-akhirat. Karena itulah, dalam urusan yang haram, islam tidak
hanya melarang yang haram saja, tapi juga melarang semua celah yang bisa
mengantarkan kepada yang haram. Islam mengharamkan zina, islam juga
mengharamkan setiap celah menuju zina. Islam mengharamkan riba, islam juga
mengharamkan setiap celah menuju riba, seperti jual beli ‘inah, dst. Semangat
seperti inilah yang sering dikenal oleh para ulama ushul fiqih dengan istilah
Saddud Dzari’ah : menutup celah setiap jalan yang bisa memicu timbulnya
perbuatan yang terlarang.
Syaikhul Islam mengatakan,
إن الشريعة جاءت بتحصيل المصالح وتكميلها
وتعطيل المفاسد وتقليلها فالقليل من الخير خير من تركه ودفع بعض الشر خير من تركه كله
…
“Sesungguhnya syariat datang
untuk mewujudkan semua bentuk kebaikan dan menyempurnakannya, serta
menghilangkan semua bentuk kerusakan dan menguranginya. Menjaga kebaikan yang
sedikit, itu lebih baik dibandikangkan mengabaikannya. Mengurangi keburukan
yang seidkit, itu lebih baik dari pada membiarkan semuanya.” (Majmu’ Fatawa,
15/312).
Setalah menyebutkan prinsip
penting di atas, selanjutnya Syaikhul islam menyebutkan kisah Nashr bin Hajaj
bersama Umar,
ومما يدخل في هذا أن عمر بن الخطاب
نفى نصر بن حجاج من المدينة ومن وطنه إلى البصرة لما سمع تشبيب النساء به..
Termasuk upaya mewujudkan
semangat ini adalah sikap Umar bin Khatab yang mendeportasi Nashr bin Hajjaj
dari kota asalnya Madinah ke kota Bashrah. Karena beliau mendengar beberapa
wanita menyanjung-nyanjung dirinya…
Ketiga, Apakah Ini Hukuman?
Jika kita perhatikan, sejatinya
semacam ini bukan hukuman. Andaipun disebut hukuman, sejatinya hanya hukuman
yang sangat ringan. Karena orang ini hanya dideportasi ke tempat lain, dan
selanjutnya dia bisa beraktivitas sebagaimana umumnya masyarakat. Dia tetap
mendapat hak kelayakan hidup.
Dan kebijakan pemerintah muslim
dalam hal ini adalah menjaga timbulnya peluang maksiat yang lebih besar.
Sehingga tujuan sejatinya adalah sebagai pendidikan bagi umat.
Ini sebagaimana dijelaskan
Syaikahul islam dalam lanjutan fatwanya,
فهذا لم يصدر منه ذنب ولا فاحشة يعاقب
عليها؛ لكن كان في النساء من يفتتن به فأمر بإزالة جماله الفاتن فإن انتقاله عن وطنه
مما يضعف همته وبدنه ويعلم أنه معاقب وهذا من باب التفريق بين الذين يخاف عليهم الفاحشة
والعشق قبل وقوعه وليس من باب المعاقبة
Dalam kasus ini, Nashr bin Hajaj
sebenarnya tidak melakukan dosa maupun perbuatan keji, sehingga dia layak
dihukum. Akan tetapi mengingat ada beberapa wanita yang tergila-gila dengannya
maka beliau perintahkan untuk mengurangi kadar kegantengan pemicu fitnah.
Dengan dia dideportasi dari negerinya akan mengurangi pikiran yang tidak
karuan, fisiknya dan dia akan menyadari bahwa dia sedang dihukum. Semacam ini
hakekatnya adalah menjauhkan orang dari kekhawatiran timbulnya perbuatan keji
dan mabuk cinta, sebelum itu terjadi, dan bukan sebagai hukuman. (Majmu’
Fatawa, 15/313).
Keempat, Bukankah Ini Merugikan
Satu Pihak?
Kita sepakat ini akan merugikan
pihak yang dideportasi. Padahal dia tidak melakukan kesalahan. Tapi harus ada
yang dikorbankan demi berlangsungnya pendidikan bagi umat. Dalam kajian fikih,
semacam ini termasuk bentuk mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan
individu. Para ulama meletakkan kaidah,
يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام
Diambil kerugian yang lingkupnya
kecil untuk menghindari kerugian yang lingkupnya umum. (Al-Wajiz fi Idhah
Qawaid Al-Fiqh Al-Kuliyah, hlm. 263).
Mengorbankan hak orang yang
dideportasi, itu pasti. Tapi pengorbanan ini akan lebih ringan dibandingkan
kemaslahatan yang bisa dinikmati banyak orang. Setelah memahami ini, berlebihan
ketika ada orang yang menggugat fenomena tersebut atas nama HAM.
Kelima, Tak Kenal maka Tak Sayang
Demikian kata pepatah yang sering
kita dengar. Para ulama juga menasehatkan hal yang sama,
الناس أعداء ما جهلوا
“Manusia akan menjadi musuh
terhadap kebaikan yang tidak dia ketahui.”
Ketika yang dia benci tidak ada
sangkut pautnya dengan ajaran islam, mungkin masalahnya akan ringan. Namun
ketika yang dibenci ajaran syariat, masalahnya menjadi runyam. Bisa dibayangkan
ketika ada seorang muslim yang membenci aturan syariat agamanya karena dia
tidak paham bahwa itu aturan syariat.
Apa yang dilakukan pemerintah
Saudi dalam kasus ini tidak ubahnya sebagaimana keputusan Khalifah Umar bin
Khatab radhiyallahu ‘anhu. Dan itu sesuai dengan semangat yang diajarkan dalam
islam. Sayangnya banyak muslim yang keburu buka mulut untuk komentar miring,
padahal sejatinya itu sesuai dengan aturan agamanya.
Sekali lagi, hati-hati dengan
komentar, karena semua akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah, Dzat yang
Maha Mengetahui segalanya.
Allahu a’lam
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)
0 comments:
Posting Komentar